Dari Negara ke Rakyat.
Kegagalan pendekatan pengelolaan hutan berbasis Negara dan keprihatianan dunia internasional melihat kerusakan hutan di Indonesia,memunculkan gagasan dan desakan untuk mencari bentuk alternative pengelolaan hutan yang bisa melestarikan sumber daya hutan sekaligus mencerminkan keadilan bagi masyarkat.
Wacana tentang perlibatan masyarkat dalam pengelolan hutan telah ada pada decade tahun 1970 dan menjadi tema penting dengan tema “forest For People : yang menekankan persoalan kehutanan untuk kesejahteraan masyarakat.
Kehutanan masyarakat tidak sekedar menjadi wacana, tetapi perlu dukungan dan pengakuan Negara supaya masyarakat setempat dapat membangun kelembagaan pengurusan sumberdaya hutan yang lebih lestari dan berkeadilan.
Sejalan dengan hal tersebut GBHN 1999/2004 telah mengamankan bahwa memberdayakan SDA yang sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup , pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan kebudayaan masyarakat local serta penataan ruang yang nuansanya diatur dengan undang – undang. Dukungan dan pengakuan Negara juga tertuang dalam Tap MPR IX 2001 yang memandatkan pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap masyarakat setempat dengan keragaman adat dan budaya. Selanjutnya Undang –undang No.41 Tahun 1999: hutan harus dikelola untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, yang dilaksanakan secara adil dan merata. Perundangan lain yang signifikan dengan persoalan di atas adalah UU no.22 1999 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah dan UU no.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dengan memberikan beberapa kewenangan pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.
Ada beberapa istilah yang sering di pakai untuk menyebutkan pola pengelolaan hutan oleh masyarakat yaitu Hutan kemasyarakatan (HKm), Perhutanan social, Hutan Rakyat yang dipakai oleh pemerintah (khususnya kehutanan).Istilah Kehutanan Masyarakat (Community Foresty), System Hutan Kerakyatan (SHK) dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang kerap di pakai oleh penggiat LSM, akademisi dan birokrat (FKKM,2000).
Terlepas dari berbagai istilah tersebut bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat di maksudkan untuk memberikan akses pengelolaan dan penguasaan atas sumber daya hutan.
Kehutanan masyarakat sebagai paradigma menuntut kesungguhan dan komitmen dari semua pihak tidak terkecuali masyarakat local sebagai actor utamanya. Kehutanan masyarakat tidak juga akan pernah memberikan jaminan kesejahteraan dan kemakmuran bilamana hanya berhenti pada paradigma saja, tetapi tidak pernah diimplementasikan secara nyata dan konsisten di lapangan, (Mustofa Agung Sardjono, dalam journal Komuniti, No.1 Tahun 2001).
Dorongan perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik kedesentralistik dari gagasan modern, biokrat, dan “ilmiah” ke gagasan tradisonal local yang hingga saat masih terus berlangsung diharapkan dapat lebih mampu menjawab permasalahan – permasalahan pengelolaan sumber daya hutan.
Peran Berbagai Pihak dalam Konsep Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasiskan Masyarakat.
Pengelolaan Sumber Daya hutan berbasiskan masyarakat adalah pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang dilakukan secara kolaboratif oleh para pemangku kepentingan/ berbagai pihak. Konsep PSDHBM menekanan pentingnya peran pengelolaan, dan bukan hanya pemanfaatan dan semata-mata mengklaim lahan. Karena itu pengertian PSDHBM mencakup pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam. Memenuhi kebutuhan generesi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi kedepan untuk mencukupi kebutuhan mereka, hingga memerlukan perujutan harmoni dari konservasi, keadilan dan kesejahteraan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dalam mencapai tujuan tersebut terdapat beberapa prinsf kunci PSDHBM yaitu :
1. Menutamakan harmoni dari konservasi, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Interdependensi diantara ketiga aspek tersebut harus di ekspresikan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi dan refleksi pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
2. Partisifasi seluruh pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat dikembangkan untuk mendorong adanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, demokratis, adil dan transparan. Prosesnya dikembangkan dengan membuka ruang keterlibatan para pihak seluas-luasnya dalam proses-proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Agar masyarakat dapat berpartisipasi, maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan yang selama ini terpinggirkan dalam proses-proses pembangunan.
3. kolaborasi diantara pemangku kepentingan dan organisasi lain. Kolaborasi dikembangkan melintasi batas-batas budaya, sosial, ekonomi dan politik. Masyarakat di Desa-desa yang berada dekat dengan sumber daya alam bekerja sama dengan komunitas yang berkepentingan lainnya. Akan tetapi para pihak itu memiliki peranan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam. PSABM mementingkan perlunya meningkatkan keberdayaan para pihak dalam memahami persoalan-persoalan sumber daya alam, lebih siap bekerjasama dengan pihak lain dan dalam mengantisipasi kemunginan dampak negatif dari adanya tindakan pengelolaan sumber daya alam yang berada disekitarnya.
4. menggunakan skala analisa yang luas. Skala analisa meliputi kebun, ekosistem, eko-region, para pemangku kepentingan, dan kebijkan yang dibutuhkan dalam memahami aspek-aspek kesejahteraan masyarakat, konservasi, keadilan, dan dampak potensial dari aktifitas manusia.
Pada prinsipnya bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat, diperlukan suatu model pengelolaan hutan yang partisipatif dalam arti pelibatan banyak pihak terutama masyarakat sekitar kawasan hutan dengan pendekatan yang arif dan bijaksana serta menghindari tindakan yang represif terhadap masyarakat. pendekatan teknokratik dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan seperti yang sebelum ini dijalankan tanpa berkonsultasi dan mendapat persetujuan masyarakat setempat tampaknya sudah harus ditinggalkan. Dengan dukungan pemerintah, masyarakat setempat mampu membangun kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutantampaknya dapat dibuktikan.
Semakin kuatnya kelembagaan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam mensyaratkan proses pengambilan kebijakan dan perencanan, pelaksanaan, dan evaluasi program dan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat setempat. Konsultasi erat dengan para pihak dengan perhatian khusus pada akomodasi aspirasi masyarakat setempat merupakan metoda yang tampaknya akan lebih berhasil ketimbang pendekatan teknokratik yang selama ini dijalankan.
Fasilitasi pendamping dapat mendorong penguatan kelembagaan masyarakat setempat dengan mempererat kolaborasi antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan. Mengharapkan LSM untuk seterusnya melakukan pendampingan intensif terhadap kelompok-kelompok masyarakat pengelolan hutan tampaknya tidaklah realistis. Karenanya penguatan lebih lanjut kolaborasi antara masyarakat setempat dan petugas lapangan instansi-instansi teknis daerah menjadi agenda penting ke depan.
0 komentar:
Posting Komentar