14 November 2007

PENCEGAHAN DAN PENANGULANGAN KEBAKARAN GAMBUT BERBASISKAN MASYARAKAT LOKAL*

Pengendalian kebakaran hutan (Saharjo et al., 1999) merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan.

Pengendalian kebakaran hutan mencakup tiga komponen kegiatan yaitu:

  1. Mencegah terjadinya kebakaran hutan
  2. Memadamkan kebakaran hutan dengan segera sewaktu api masih kecil
  3. Penggunaan api hanya untuk tujuan – tujuan tertentu dalam skala terbatas

Lebih lanjut, Saharjo et al.(1999) mengatakan bahwa agar pengendalian kebakaran hutan dapat berhasil dengan baik maka sebelum dilaksanakan perlu disusun suatu rencana pengendalian yang menyeluruh.Rencana ini akan menjadi dasar di dalam hutan dan di daerah sekitarnya.Rencana pengendalian kebakaran hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana pengelolaan (manajemen) hutan.

Fakta dari beberapa kejadian kebakaran di Indonesia menunjukan bahwa manajemen kebakaran di Indonesia lebih difokuskan pada aspek pemadaman daripada aspek pencegahan, hal demikian tersirat dari : (a) sebagian besar instansi pemerintah hanya akan bertindak apabila telah terjadi kebakaran sehingga akan menghasilkan proyek yang membutuhkan dana besar dibanding program- program pencegahan; (b) didalam program – program jangka pendek dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih ditekankan pada aspek pemadaman; dan (c) rendahnya komitmen dan keinginan untuk mengalokasikan dana, staf, teknologi, peralatan, dan sebagainya dalam upaya-upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Pencegahan

Manajemen kebakaran berbasiskan masyarakat akan lebih baik diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran.Pencegahan meliputi pekerjaan/kegiatan-kegiatan yang bertujuan agar tidak terjadi kebakaran.

Pencegahan kebakaran hutan merupakan salah satu komponen pengendalian kebakaran hutan yang mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian kebakaran liar.Pencegahan kebakaran hutan bukan bertujuan untuk menghilangkan semua kejadian kebakaran liar.Menghilangkan semua kejadian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan.Banyak kejadian kebakaran yang sumber apinya tidak diketahui atau berasal dari sumber yang berada diluar jangkauan kemampuan pengendalian suatu organisasi pengendalian kebakaran hutan.

Pencegahan kebakaran hutan dapat dipandang sebagai kegiatan yang yak terpisahkan dari pengendalian kebakaran, namun keberhasilannya hendaknya dievaluasi dalam konteks keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran secara keseluruhan.Pencegahan dan pemadaman merupakan kegiatan yang komplementer bukan kegiatan substitusi. Masing-masing kegiatan tidak ada yang lengkap dan sempurna, keduanya harus dijembatani oleh kegiatan manajemen bahan bakar dan pra pemadaman.

Pencegahan kebakaran hutan merupakan kegiatan awal yang paling penting dalam pengendalian kebakaran dan merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus.Pencegahan kebakaran merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran, tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal.

Sebuah konsep sederhana untuk mencegah terjadinya proses pembakaran adalah dengan cara meghilangkan / meniadakan salah satu dari komponen segitiga api tersebut. Hal yang dpat dilakukan yaitu menghilangkan atau mengurangi sumber panas (api) dan menghilangkan atau mengurangi akumulasi bahan bakar. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan usaha mencegah atau mengurangi api dari luar masuk keareal hutan atau lahan, mencegah Pengeringan kawasan Gambut yang mengakibatkan mudah terbakar, serta membatasi penyebaran api apabila terjadi kebakaran. Adapun strategi yang dapat dijadikan acuan dalam usaha pencegahan terjadinya kebakaran meliputi pendekatan system informasi kebakaran, pendekatan sosial ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan hutan dan lahan. Semua pendekatan dapat dilakukan dengan berbasiskan Masyarakat.

Pendekatan Sistem Informasi Kebakaran

Sistem informasi tentang kemungkinan peluang terjadinya suatu kebakaran yang didistribusikan dengan baik ke para stakeholder terkait hingga di tingkat lapangan merupakan salah satu komponen keberhasilan tindakan pencegahan kebakaran. Secara konvensional system informasi ini dilakukan dengan pemantauan peta dan kompas serta penggunaan kentongan didesa- desa sebagai alat untuk menginformasikan kepada warga masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kebakaran. Saat ini, dengan bantuan teknologi modern (computer, alat komunikasi, internet,Penginderaan jauh (system informasi geografis)) dapat dikembangkan system informasi kebakaran berdasarkan factor – factor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran seperti kondisi bahan bakar, kondisi klimatologi dan perilaku kebakaran. Sistem informasi ini bisa juga dikembangkan di bentuknya Masyarakat Perduli API atau Regu Kebakaran Hutan Di tingkat masyarakat Desa. Masyarakat Lokal yang berdasis di desa-desa merupakan tumpuan utama dalam menjalankan sistem Informasi kebakaran yang efektif.

  1. Jenis Sistem informasi Kebakaran

a) Sistem Peringatan Dini

b) Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran

c) Sistem Pemantauan Titik Panas

2. Distribusi Informasi Terjadinya Kebakaran

Apabila dari hasil pemantauan titik panas, terdeteksi adanya titik panas serta output dari system peringatan dini (sistim peringkat bahaya kebakaran) yang telah dilakukan ditingkat pusat maupun daerah menunjukan indikasi akan timbulnya kebakaran, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah :

  • Menyebarkan peringatan dini melalui media local (cetak,radio), agar diketahui oleh kelompok target pemakai hutan, politisi, masyarakat dan pengelola lahan yang lain akan terjadinya kemarau panjang yang berpotensi menyebabkan kebakaran;
  • Memantau aktivitas di sekita lahan dan hutan, terutama daerah rawan kebakaran melalui patroli harian;
  • Menyebarluaskan informasi larangan melakukan pembakaran;
  • Persiapan, pelatihan dan penyegaran untuk semua petugas terkait dan masyarakat dalam usaha – usaha pemadaman kebakaran;
  • Rencanakan penanggulangan bersama dengan masyarakat, LSM, dan perusahaan-perusahaan disekitar hutan;
  • Pastikan ketersediaan peralatan pemadaman dan semua peralatan berfungsi dengan baik;
  • Melakukan pengecekan sumber – sumber air untuk rencana pemadaman;
  • Melakukan pertemuan dan komunikasi secara rutin antara masyarakat, perusahaan, LSM dan petugas pemadam kebakaran;
  • Melakukan pemadaman sedini mungkin jika ditemui sumber api meskipun kecil.

( DI SUMATERA SELATAN SUDAH DI KELUARKAN PERATURAN GUBERNUR SUMATERA SELATAN NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PROSEDUR TETAP OPERASIONAL PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PROPINSI SUMATERA SELATAN DIKELUARKAN TANGGAL 3 SEPTEMBER 2007)

Pendekatan Sosial Ekonomi Masyarakat.

Definisi dan pentingnya partisipasi/peran serta masyarakat local dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan

Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam suatu kelompok yangmendorongnya untuk bersedia memberikan sumbangan bagi tercapainya ujuan kelompok dan turut bertanggung jawab atas usaha usaha yang dialkukan kelompoknya.

Dalam pengertian partisipasi terdapat tiga gagasan pokok yang penting dan harus ada,yaitu:

a) bahwa partisipasi itu sesunguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, dan bukan hanya keterlibatan secara fisik;

b) Kesediaan memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencapai tujuan kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kegiatan kelompok;

c) Tanggung jawab merupakan segi yang menonjol dari perasaan mejadi anggota kelompok, Karena semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi mengharapkan agar melalui kelompok itu tujuangnya tercapai dengan baik (davis,1962 dalam yanuar,1998).

Dorongan dan rangsangan utnuk berpartisipasi mencakup fakto-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas partisipasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, ternyata ada hubungan erat, dimana makin kuat dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi maka semakin tinggi intensitas partisipasinya. Implikasinya adalah apabila penduduk diberi lebih banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya untuk mendapat lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka intensitas partisipasinya dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan akan meningkat.Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi jug dimulai dari saat pengambilan keputusan ,perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, penilaian dan distribusi hasilnya.

Terdapat kaitan erat antara partisipasi masyarakat dengan insentif. Tanpa ada suatu kejelasan insentif maka patisipasi tersebut akan berubah makananya menjadi suatu tindakan paksaan. Dengan kata lain menganjurkan masyarakt local untuk berpartisipasi tanpa insentif sama dengan menjadikan masyarakat sebagai tumbal. Partisipasi tersebut akan memperoleh manfaat bagi kehidupan social ekonomi mereka. Susksesnya kegiatan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) kebakaran hutan dan lahan sangat tergantung kepada keberhasilan membawa serta masyarakat local dalam emosi, perasaan dan semangat untuk mempertahankan kelestarian hutan dan ini memerlukan pendekatan pengelolaan hutan dan lahan yang memahami segi manusiawi. Tiga asumsi pokok yang mendasari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu:

a) Rasio jumlah petugas yang menguasai wilayah hutan dengan luas wialyah yng harus dikuasainya sangat rendah, sehingga apabila masyarakat local tidak ikut berpartisipasi aktif dalam penjagaan keamanan hutan maka kelestarian hutan akan terancam;

b) Apabila masyarakat local memiliki kesadaran akan berfungsi hutan serta tidak ada factor lain yang memaksanya, maka harapan agar masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif utnuk menjaga keamanan hutan dari bahaya kebakaran maupu jenis kerusakan lainnya akan dapat terlaksana;

c) Masyarakat local adalah salah satu unsure pembentuk sumber api yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Masyarakat mau menyatu dan bisa terangsang, tergerak untuk menjaga hutan dari kerusakan apabila;

  • Ia merasa dirinya berarti dalam proses pengelolaan hutan dan lahan;
  • Terdapat insentif
  • Emosinya tergetar oleh harga diri yang tumbuh akibat penyertaan dirinya dalam pengelolaanhutan dan lahan tersebut;
  • Semangatnya terbangkitkan untuk sesuatu yang ia hayati dan sadari sebagai hal yang pautut diperjuangkan yaitu menjaga hutan dan lahan dari kerusakan.

Masyarakat local bukan sasaran benda mati, ia meiliki rasa, emosi dan semangat,oleh karenanya keseluruhannya jiwa dan raganya perlu dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Pelibatan dirinya sebagai subyek, manusia terhormat, sebagai partisipan aktif yang berharga diri akan mendorong keberhasilan dlam menjaga kawasan hutan dan lahan dari kerusakan.

Upaya peningkatan partisipasi/peran serta masyarakat local dalam pencegahan kebakran hutan dan lahan

Penigkatan partisipasi/peran serta masyarakat local dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu dorongan dan rangsangan , insentif, kesempatan, kemampuan dan bimbingan.

Faktor – Faktor diatas dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

a)Pemberian kesempatan pengolahan lahan

b)Pemberian insentif

Kemiskinan merupakan masalah utama yang terjadi di masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut. Dalam meningkatkan peran masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut yang Perlu menjadi pertimbangan besar adalah Peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal. Kontribusi masyarakat lokal terhadap kelestarian lingkungan hidup harus diimbangin dengan pemberian Insentif dalam Peningkatan ekonomi mereka . (contoh Program CCFPI dan WPRP). Insentif dapat diberikan dalam bentuk pengembangan usaha Produktif berupa Pertanian, peternakan dan kerajinan. Diikuti dengan bersama masyarakat dalam penutupan kanal di lahan gambut untuk mencegah kebakaran. Atau pembuatan bibit tanaman lokal oleh masyarakat dan kemudian di tanam di lahan keritis berkas terbakar.

c)Rangsangan dan dorongan

Rangsangan dan dorongan ini dapat dilakukan melalui kegiatan peningkatan kesadaran (public awareness),yaitu:

· Peningkatan kesadaran sejak dini;

· Usaha meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi hutan dan lahan gambut;

· Usaha mencegah atau mengurangi terjadinya sumber api yang dibuat oleh masyarakat di lahan gambut;

· Memasyarakatkan dan menegakkan hukum dan kebijakan yang berlaku;

· Mengikutsertakan masyarakat dalam berkontribusi terhadap pencegahan kebakaran hutan seperti Kegiatan Bloking Kanal atau penutupan kanal di Lahan Gambut bersama Masyarakat (Contoh. Program CCFPI )

d). Peningkatan kemampuan masyarakat

Peningkatan kemampuan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan ataupun penyuluhan,diantaranya:

  • Pelatihan tentang penerapan tehnik-tehnik alternative pengganti / mengurangi penggunaan api, misalnya:dalam penyiapan lahan, dalam penangkapan ikan dan lain lain,
  • Pelatihan tentang pengendalian kebakaran, dan pembentukan Regu Kebakaran Hutan tingkat Desa atau menhidupkan Komponen Masyarakat Perduli Api. Dan lain lain..
  • Pelatihan tentang manajemen pengelolaan kelompok Tani dan teknis keorganisasian dll

e). Bimbingan dan Pendampingan.

Kegiatan yang mengikutsertakan masyarakat akan berjalan dengan baik jika ada bimbingan dari pihak terkait. Adapun tugasnya antara lain membentuk kesadaran masyarakat, membantu masyarakat dalam upaya- upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, mengawasi dan memberi pengertian pada masyarakat local.

Bimbingan harus sinergi dengan Pendampingan yang sering dilakukan oleh LSM, Peran LSM atau ORNOP. (detil di persentasi peran Lsm. Wbh.klh )

* di susun dan dirangkum dari bahan bacaaan oleh Deddy permana

PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASISKAN MASYARAKAT *

Dari Negara ke Rakyat.

Kegagalan pendekatan pengelolaan hutan berbasis Negara dan keprihatianan dunia internasional melihat kerusakan hutan di Indonesia,memunculkan gagasan dan desakan untuk mencari bentuk alternative pengelolaan hutan yang bisa melestarikan sumber daya hutan sekaligus mencerminkan keadilan bagi masyarkat.

Wacana tentang perlibatan masyarkat dalam pengelolan hutan telah ada pada decade tahun 1970 dan menjadi tema penting dengan tema “forest For People : yang menekankan persoalan kehutanan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kehutanan masyarakat tidak sekedar menjadi wacana, tetapi perlu dukungan dan pengakuan Negara supaya masyarakat setempat dapat membangun kelembagaan pengurusan sumberdaya hutan yang lebih lestari dan berkeadilan.

Sejalan dengan hal tersebut GBHN 1999/2004 telah mengamankan bahwa memberdayakan SDA yang sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup , pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan kebudayaan masyarakat local serta penataan ruang yang nuansanya diatur dengan undang – undang. Dukungan dan pengakuan Negara juga tertuang dalam Tap MPR IX 2001 yang memandatkan pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap masyarakat setempat dengan keragaman adat dan budaya. Selanjutnya Undang –undang No.41 Tahun 1999: hutan harus dikelola untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, yang dilaksanakan secara adil dan merata. Perundangan lain yang signifikan dengan persoalan di atas adalah UU no.22 1999 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah dan UU no.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dengan memberikan beberapa kewenangan pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.

Ada beberapa istilah yang sering di pakai untuk menyebutkan pola pengelolaan hutan oleh masyarakat yaitu Hutan kemasyarakatan (HKm), Perhutanan social, Hutan Rakyat yang dipakai oleh pemerintah (khususnya kehutanan).Istilah Kehutanan Masyarakat (Community Foresty), System Hutan Kerakyatan (SHK) dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang kerap di pakai oleh penggiat LSM, akademisi dan birokrat (FKKM,2000).

Terlepas dari berbagai istilah tersebut bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat di maksudkan untuk memberikan akses pengelolaan dan penguasaan atas sumber daya hutan.

Kehutanan masyarakat sebagai paradigma menuntut kesungguhan dan komitmen dari semua pihak tidak terkecuali masyarakat local sebagai actor utamanya. Kehutanan masyarakat tidak juga akan pernah memberikan jaminan kesejahteraan dan kemakmuran bilamana hanya berhenti pada paradigma saja, tetapi tidak pernah diimplementasikan secara nyata dan konsisten di lapangan, (Mustofa Agung Sardjono, dalam journal Komuniti, No.1 Tahun 2001).

Dorongan perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik kedesentralistik dari gagasan modern, biokrat, dan “ilmiah” ke gagasan tradisonal local yang hingga saat masih terus berlangsung diharapkan dapat lebih mampu menjawab permasalahan – permasalahan pengelolaan sumber daya hutan.

Peran Berbagai Pihak dalam Konsep Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasiskan Masyarakat.

Pengelolaan Sumber Daya hutan berbasiskan masyarakat adalah pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang dilakukan secara kolaboratif oleh para pemangku kepentingan/ berbagai pihak. Konsep PSDHBM menekanan pentingnya peran pengelolaan, dan bukan hanya pemanfaatan dan semata-mata mengklaim lahan. Karena itu pengertian PSDHBM mencakup pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam. Memenuhi kebutuhan generesi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi kedepan untuk mencukupi kebutuhan mereka, hingga memerlukan perujutan harmoni dari konservasi, keadilan dan kesejahteraan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dalam mencapai tujuan tersebut terdapat beberapa prinsf kunci PSDHBM yaitu :

1. Menutamakan harmoni dari konservasi, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Interdependensi diantara ketiga aspek tersebut harus di ekspresikan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi dan refleksi pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.

2. Partisifasi seluruh pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat dikembangkan untuk mendorong adanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, demokratis, adil dan transparan. Prosesnya dikembangkan dengan membuka ruang keterlibatan para pihak seluas-luasnya dalam proses-proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Agar masyarakat dapat berpartisipasi, maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan yang selama ini terpinggirkan dalam proses-proses pembangunan.

3. kolaborasi diantara pemangku kepentingan dan organisasi lain. Kolaborasi dikembangkan melintasi batas-batas budaya, sosial, ekonomi dan politik. Masyarakat di Desa-desa yang berada dekat dengan sumber daya alam bekerja sama dengan komunitas yang berkepentingan lainnya. Akan tetapi para pihak itu memiliki peranan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam. PSABM mementingkan perlunya meningkatkan keberdayaan para pihak dalam memahami persoalan-persoalan sumber daya alam, lebih siap bekerjasama dengan pihak lain dan dalam mengantisipasi kemunginan dampak negatif dari adanya tindakan pengelolaan sumber daya alam yang berada disekitarnya.

4. menggunakan skala analisa yang luas. Skala analisa meliputi kebun, ekosistem, eko-region, para pemangku kepentingan, dan kebijkan yang dibutuhkan dalam memahami aspek-aspek kesejahteraan masyarakat, konservasi, keadilan, dan dampak potensial dari aktifitas manusia.

Pada prinsipnya bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat, diperlukan suatu model pengelolaan hutan yang partisipatif dalam arti pelibatan banyak pihak terutama masyarakat sekitar kawasan hutan dengan pendekatan yang arif dan bijaksana serta menghindari tindakan yang represif terhadap masyarakat. pendekatan teknokratik dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan seperti yang sebelum ini dijalankan tanpa berkonsultasi dan mendapat persetujuan masyarakat setempat tampaknya sudah harus ditinggalkan. Dengan dukungan pemerintah, masyarakat setempat mampu membangun kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutantampaknya dapat dibuktikan.

Semakin kuatnya kelembagaan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam mensyaratkan proses pengambilan kebijakan dan perencanan, pelaksanaan, dan evaluasi program dan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat setempat. Konsultasi erat dengan para pihak dengan perhatian khusus pada akomodasi aspirasi masyarakat setempat merupakan metoda yang tampaknya akan lebih berhasil ketimbang pendekatan teknokratik yang selama ini dijalankan.

Fasilitasi pendamping dapat mendorong penguatan kelembagaan masyarakat setempat dengan mempererat kolaborasi antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan. Mengharapkan LSM untuk seterusnya melakukan pendampingan intensif terhadap kelompok-kelompok masyarakat pengelolan hutan tampaknya tidaklah realistis. Karenanya penguatan lebih lanjut kolaborasi antara masyarakat setempat dan petugas lapangan instansi-instansi teknis daerah menjadi agenda penting ke depan.


*Oleh Deddy Permana. Yayasan Wahana Bumi Hijau disampaikan pada training Manajemen Kelembagaan Lokal di Lubuk lingau oleh Walhi Tanggal 28-29 Januari 2007.

13 November 2007

PERAN SERTA NGO/LSM DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.*

PENDAHULUAN

Mengutip pendapat Sonny Keraf (Etika Lingkungan 2002) bawah cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensingkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek social budaya dan aspek lingkungan hidup.

Dinamika pembangunan, sosial politik, ekonomi yang terjadi telah membawa perubahan terhadap pola implimentasi kebijakan dan perilaku masyarakat dalam berbagai hal, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kecenderungan untuk melakukan upaya eksploitatif terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama sumberdaya alam yang selalu di beri tema ”demi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat”, di sana sini telah memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Bencana alam yang kerap kali terjadi, seperti banjir, longsor, kerusakan lahan, pencemaran sebagai akibat dari perilaku itu telah membawa keprihatinan dan Kekhawatiran yang akan timbul, pertama, terjadi kemiskinan yang semakin mendalam, tidak saja karena kekayaan sumber daya alamnya terkuras habis. Lebih dari itu, karena kemerosotan sumberdaya alam mengakibatkan mereka tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Tingkat pendidikan tetap rendah, karena tidak memiliki kemampuan untuk membayar biaya pendidikan yang lebih baik. Kedua, timbul berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun di satu pihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga, kehancuran sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di sekitarnya yang sangat tergantung hidupnya dari keberadaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tersebut. Akibatnya, cara berfikir dan cara hidup mereka dengan segala kekayaan budayanya juga terancam, bersama terancamnya eksistensi mereka oleh punahnya keanekaragaman hayati itu.

Timbul suatu pertanyaan siapa yang terkena dampak langsung terhadap kondisi ini? sudah barang tentu adalah Masyarakat lokal yang hidup di lingkungan tersebut.

Masyarakat merupakan komponen penting dalam segala aspek terutama dalam peran pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat merupakan subjek utama yang menentukan keberlangsungan sumber daya alam lingkungan mereka. Dengan demikian dalam kebijakan yang didibuat pemerintah harus mengarah ke pembangunan masyarakat dan beroreatasi terhadap kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan sumber daya alam sekaligus menopang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan – kebijakan pembangunan yang menyimpang yang tidak memperhitungkan aspek-aspek Lingkungan harus dikeritisi oleh masyarakat.

Salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya persoalan lingkungan yang terkait dengan sumber daya alam dan masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif dan kritis agar mau dan mampu melakukan gerakan pengelolaan lingkungan secara mandiri dengan peran serta aktif, sehingga memiliki posisi tawar masyarakat yang baik dalam pembangunan lingkungan yang berkelanjutan dan melakukan pembelaan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan Sehat.

PERAN LSM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

Dari uraian diatas bahwa perlu upaya – upaya penguatan masyarakat melalui cara pandang dan pola fikir kritis terhadap lingkungan. Tentunya dalam persoalan ini tidaklah mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah, sudah tentu harus melibatkan komponen - komponen masyarakat lainnya. Salah satu adalah keterlibatan LSM (lembaga swadaya Masyarakat) dalam proses penguatan masyarakat sipil dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat.

Istilah “pemberdayaan”(empowerment) betasal dari kata “power” yang berarti kemampuan, tenaga atau kekuasaan. Dengan demikian secara harfiah, “perberdayaan” dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan atau kekuasaan.

Perberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan melalui pengalihan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya. Dengan demikian Pemberdayaan masyarakat dapat dipersamakan dengan proses pengembangan masyarakat yang bertujuan memampukan masyarakat dalam mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan sendiri, serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup tujuan pemberdayaan tidak semata-mata peningkatan kesejahteraan rakyat. Ide dasarnya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup adalah terciptanya keseimbangan antara keberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan dalam hal ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan masyarakat secara umum tapi juga dimaksudkan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Tampa lingkungan yang dapat menjamin kehidupan dan penghidupan yang layak, keberdayaan masyarakat sangat sulit terujutkan.

Pada tataran implimentasi dilapangan Pemberdayaan Masyarakat memerlukan sebuah “Pendampingan”,yaitu kegiatan memfasilitasi proses pembelajaran secara nonformal untuk mencapai keberdayaan masyarakat. Peran sebagai pemdampingan inilah, LSM atau ORNOP sangat penting.

TUJUAN PENDAMPINGAN

Tujuan pendampingan pada dasarnya mencakup 2 elemen pokok, yaitu tumbuhnya kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat.

Kemandirian merupakan kemampuan untuk pelepasan diri dari keterasingan, atau kemampuan untuk bangkit kembali pada diri manusia yang mungkin sudah hilang karena adanya ketergantungan, exploitasi, dan sub ordinasi.

Kemandirian merupakan cermin adanya kepercayaan seseorang pada kemampuan sendiri yang menjadi suatu kekuatan pendorong untuk kreativitas manusia, otonomi untuk mengambil keputusan, bertindak berdasarkan keputusan sendiri,dan memilih arah tindakan yang tidak terhalang oleh pengaruh luar seperti keinginan orang lain.

Kemandirian dapat dikategorikan menjadi tiga (3) yaitu kemandirian material, intelektual, dan pembinaan. Kemandirian Material tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar dan cadangan serta mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian intelektual adalah kemampuan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dari luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Kemandirian pembinaan adalah kemampuan otonom masyarakat untuk membina diri mereka sendiri, menjalani serta mengelola tindakan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.

Partisipasi merupakan proses aktif dalam pelaksanaan kegiatan dan pengambilan keputusan yang dibimbing oleh cara berpikir masyarakat sendiri, sehingga mereka dapa melakukan kontrol efektif.

FUNGSI PENDAMPING

Pendamping dalam program–program pengemangan masyarakat atau sering pula disebut ”Community Development (CD) worker” memiliki fungsi yang kompleks, yakni sebagai edukuator,motivator,fasilitator,dinamisator,mediator,dan konselor. Peran mana yang perlu lebih ditonjolkan sangat tergantung dari kondisi masyarakat. Namun,dalam peran segala peran yang dimainkannya, pendamping harus memposisikan dirinya sejajar atau setara dengan masyarakat. Beberapa fungsi pendampingan sebagai berikut :

Fungsi Edukator

Inti pendampingan adalah mendidik masyarakat dengan cara yang tidak oteriter, dengan memberikan ruang gerak bagi berkembangnya pemikiran dan kreativitas masyarakat untuk secara aktif belajar dan berlatih atas dasar kesadaran yang tumbuh dari dalam. Ketika sedang menjembatani hubungan antar masyarakat dengan instasi teknis lembaga keuangan, dan mitra usaha, pendamping sedang melatih masyarakat untuk memanfaatkan potensi layanan pemerintah dan melatih kemampuan masyarakat dalam menjalin kerja sama.

Fungsi Motivator

Sebagai motivator, pendamping berperan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan diri masyarakat. Pendamping memotivasi masyarakat untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang direncanakan, seperti melakukan pengembangan usaha, pelestarian lingkungan, membangun kelompok dan sebagainya.

Fungsi Fasilitator, Dinamisator, dan Inspirator.

Pendamping juga dapat berfungsi sebagai fasilitator. Istilah ”fasilitator” berasal dari kata ”fasilitasi” yang berarti sarana. Maka ”memfasilitasi” berarti memberikan sarana agar tercapai tujuan. Serana tersebut biasanya untuk memperlancar proses kegiatan, seperti memfasilitasi proses agar kegiatan diskusi berjalan lancar. Sedangkan berfungsi sebagai Dinamisator dan Inspirator, yakni mendorong masyarakat dan kelompok untuk melakukan aktivitas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Fungsi Konselor

Dalam hal- hal tertentu,masyarakat akan berkonsultasi dan meminta bimbingan pendamping. Misalnya dalam hal mengelola kelompok. Sejauh menguasai materinya , pendamping dapat langsung membimbing masyarakat

Fungsi Mediator

Sebagai mediator, peran pendamping diantaranya adalah menjembatani masyarakat dan kelompok dengan instansi teknis untuk memperoleh bimbingan teknis atau fasilitas lainnya,menjembatani dengan lembaga keuangan untuk memperoleh fasilitas permodalan usaha, menjembatai dengan mitra usaha,serta menjadi perekat hubungan anata anggota masyarakat sehingga tercipta iklim yang kondusif.

Fungsi Advokasi

Masyarakat dapat saja mengalami sengketa dengan berbagai pihak dalam kaitannya dengan hal-hal yang masih dalam spectrum pembinaan. Sengketa ini dapat terjadi antara penduduk dan dapat pula dengan pihak-pihak lain diluar komunitas yang didampingi seperti dengan mitra usaha atau bahkan dengan instasi penerintah. Dalam kondisi tingkat keberdayaan yang masih terbatas, masyarakat sering tidak memiliki posisi tawar, sehingga sering kalah bila bersengketa dengan pihak yang lebih memiliki kekuasaan. Untuk itu, pemdamping dapat melalukan pembelaan dalam batas-batas kebenaran dan kewajaran.

KOMPETENSI PENDAMPING

Kompetensi pemdamping sangat mempengaruhi kesuksesan dalam proses pendampingan kelompok masyarakat. Individu pendamping Kelompok masyarakat dipengaruhi faktor fokus dan oriantasi lembaga pendamping. Tentu saja untuk LSM yang fokus kerjanya dibidang Lingkungan hudup dan Pemberdayaan Masyarakat tentu saja tentu individu pendamping pada lembaga tersebut harus mempunyai kemampuan kedua bidang tersebut.

Kompetensi pendamping dapat dilihat dari dua sisi yaitu atitude atau sikap serta penguasaan ilmu pengetahuan.

1. Sikap pendamping

Seorang pendamping harus mampu menumbuhkan motivasi dan meraih kepercayaan masyarakat. Untuk itu pendamping harus mempunyai sifat dasar dan kemampuan sebagai berikut:

Ø Jujur dan ikhlas

Ø Ramah, tapi tegar dan tegas

Ø Demokratis.

Ø Rendah Hati

Ø Mempunyai komitmen kuat pada kemajuan masyarakat

Ø Mengenali dan menghormati adat istiadat setempat

Ø Semangat belajar

2. Pengetahuan Keterampilan

Pendamping bukanlah manusia super yang memiliki kemampuan dalam semua aspek kehidupan. Namun,ia perlu memiliki sebagian pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat.

Ø Pengetahuan dan keterampilan teknis.

Dalam hal ini pendamping harus memiliki keterampilan untuk mengenali konsep lingkungan hidup dan konservasi serta filosofi lingkungan .

Ø Wawasan konseptual dan praktis tentang merode pemberdayaan masyarakat.

Pendamping diharapkan memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep pemberdayaan dan memiliki keterampilan seperti keterampilan psikologi sosial, keterampilan dalam penumbuhan, pembentukan, pendampingan, pengelolaan, dan pengembangan kelompok, serta keterampilan animasi (penyadaran dan penumbuhan motivasi).

KETERKAITAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT POLA PEMBENTUKAN KELOMPOK DENGAN PELESTARIAN LINGKUNGAN.

Untuk mendorong kelompok yang didampingi terdapat muatan – muatan pelestarian lingkungan. Upaya – upaya tersebut dapat secara ekpsplisit diwujudkan dalam hal-hal seperti :

1. Spektrum Kelestarian lingkungan mewarnai tujuan kelompok. Sebagai contoh tujuan dirumuskan dalam pernyataan “ pembentukan kelompok bertujuan untuk membangun kesejahteraan masyarakat melalui proses pembelajaran, penyedian modal dan pelestarian lingkungan hidup.

2. Pelestarian Lingkungan hidup sebagai salah satu kegiatan Kelompok. Misalnya kegiatan kelompok melakukan rehabilitasi lahan kritis daerah DAS.

3. Pemberian Bantuan stimultan untuk kegiatan pelestarian Lingkungan. Misal melaksanakan program bantuan modal usaha ekonomi masyarakat dengan kompinsasi penananaman pohon, rehablitasi pantai dll.

Pola pemberdayaan masyarakat yang berbasis penguatan ekonomi masyarakat dapat di kombinasikan dengan pola penyadaran lingkungan dan program pelestarian lingkungan. Ada banyak skema dan pembelajaran yang perna dilakukan oleh LSM baik tingkat lokal, nasional maupun Internasional. Diantaranya

- Rehabilitasi Pantai yang dilakukan oleh WI-IP (wetlands –internasional ) di kabupaten pemalang Jawa tengah dengan sistem pembentukan kelompok usahan ekonomi masyarakat, pemberian modal ekonomi sebagai konfinsasi mesyarakat melakukan pembibitan bakau dan melakukan rehabilitasi pantai. JICA di pantai Benoa Bali, Yayasan mangrove di beberapa lokasi sumatera , kalimantan, yayasan Bentera Karya ( di Kabupaten Belu NTT), kelompok pecinta alam Desa Karangsong/KELOPOK di indramayu dsb.

- Rehabilitasi Lahan gambut. Di Sumatera Selatan, jambi dan Kalimantan kerja sama antara pemerintah kanada (CIDA) dengan WI-IP dan LSM Lokal Yayasan WBH Sumatera Selatan dan PINSE di Jambi.


INTISARI

Ø Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/ Organisasi Non Pemerintah(ORNOP), merupakan komponen penting dalam mendorong pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peran kritis masyarakat dalam berkontribusi terhadap Pelestarian lingkungan Hidup.

Ø Masyarakat memiliki pengetahuan tentang potensi diri dan lingkungannya, karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berada di lingkungannya. Meskipun sering belum menyadari dan belum mampu mengidentifikasi permasyalahan tersebut, tetapi dengan di dampingi oleh Fasilitator, mereka terbukti akan mampu mengenalinya.

Ø Masyarakat memahami potensi dan kemampuan yang dimiliki, meskipun belum mampu mengidentifikasinya secara eksplisit. Melalui pendampingan, mereka mampu mengidentifikasi kemampuan tersebut secara jelas dan tepat sesuai dengan kemampuannya.

Ø Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan berpartisifasi dalam memilih arah serta melaksanakan kegiatan pembangunan yang menyakut dirinya dan lingkungannya. Sebagaimana Masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.